top of page
!

RECENT POSTS: 

FOLLOW ME:

  • Facebook Clean Grey
  • Twitter Clean Grey
  • Instagram Clean Grey
Search

Review Acara ; Konser Silampukau dan Kawan-Kawan

  • radinanghilman
  • Aug 21, 2016
  • 10 min read

Hari Merdeka ( 17 Agustus 1945 ) – H. Mutahar

Tujuh belas agustus tahun empat lima Itulah hari kemerdekaan kita Hari merdeka nusa dan bangsa Hari lahirnya bangsa Indonesia Merdeka

Sekali merdeka tetap merdeka Selama hayat masih di kandung badan Kita tetap setia tetap setia Mempertahankan Indonesia Kita tetap setia tetap setia Membela negara kita

Tujuh puluh satu tahun yang lalu, Indonesia secara tegas menyatakan jika menjadi Negara yang Merdeka. Pada setiap tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia akan selalu memperingati sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Sampai pada tahun 2016 ini rakyat Indonesia masih tetap mengingat sejarah akan darah pengorbanan para pahlawan yang berjuang melepaskan jeratan Indonesia dari penjajah dengan meperingati hari kemerdekaan Indonesia. Namun, meski kata merdeka terus dan selalu dikumandangkan, mengapa masih ada insan negeri ini yang masih mepertanyakan apakah benar Indonesia sudah merdeka?

Apabila kita telusuri arti kata merdeka, maka kita akan menemukan kata “bebas”. Kemerdekaan adalah suatu kebebasan, terbebas dari segala bentuk penjajahan bangsa asing. Memang benar jika pada 17 agustus 1945 negeri kita yang kaya akan sumber daya alamnnya ini sudah bebas dari penjajahan negera asing, namun sepertinya hari ini tepat pada usia Republik Indonesia yang ke-71 kita sebagai rakyat Indonesia memahami jika Indonesia belum benar-benar bebas dari campur tangan bangsa lain atau bahkan menyedihkannya lagi jika mereka (para penjajah) adalah orang-orang yang lahir di bumi Pertiwi yang juga turut memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia sama seperti kita semua.

Mengesampingkan itu semua, saya tetap berterima kasih kepada jasa para Pahlawan yang membebaskan Indonesia dari jeratan penjajahan. Selamat hari Kemerdekaan Republik Indonesia! Merdeka untuk Indonesia! Merdeka untuk Rakyat Indonesa! Semoga kita semua benar-benar bebas!. Bebas bersuara, bebas berpendapat, bebas berekspresi dan bebas dari segala belenggu, aturan yang mencekik dan kekuasaan dari pihak tertentu yang merugikan negeri kita yang tercinta ini.

MERDEKA!!MERDEKA!! MERDEKAAA!!

Lima belas tahun silam, saya selalu antusias ketika bulan Agustus datang. Karena beberapa hari sebelum memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus, saya dan teman-teman sebaya saat itu selalu menanti lomba apa yang akan menantang kami . Semua anak-anak selalu menunggu poster besar tulisan tangan yang biasanya dipasang di tembok pos depan rumah yang isinya mengumumkan daftar lomba beserta persyaratan usia yang bisa kami ikuti. Kami begitu antusias untuk memenangkan dan tidak sabar menjadi atlit tujuh belasan.

Waktu begitu beringas dan kelewat kejam memangsa dengan cepat masa kecilku, hingga pada akhirnya kehidupan di luar pagar sana mulai memanggil. Kini tepat pada tanggal 17 Agustus 2016, Hari Kemerdekaan masih tetap sama seperti dulu. Masih tetap diperingati oleh seluruh warga Indonesia, namun saya sudah tidak lagi menunggu poster lomba yang terpampang pada pos warga. Kini saya sudah dihadapkan jika kata merdeka bukan hanya untuk dirayakan, namun harus terus diperjuangkan dan dipertahankan.

Namun pada usia Indonesia ke-71 ini saya kembali menunggu. Bukan lagi menunggu pengumuman lomba melainkan Woro-woro yang tidak lagi dibuat oleh tulisan tangan, namun berkat perkembangan zaman yakni teknologi berhasil menarik perhatian untuk hadir pada konser tunggal bertajuk Silampukau dan Kawan-Kawan.

Bukankah menghadiri acara musik atau pameran seni lainnya juga merupakan dukungan kepada mereka para rekan musisi dan seniman untuk bebas menyampaikan suara, pandangan dan pendapat mereka melalui karya yang mereka ciptakan.

Menurut saya, rekan musisi khususnya musisi skena lokal yang bergerak secara independent masih terasa belum merdeka. Masih tercekik dan makin sempit ruang geraknya. Tercekik dengan harga-harga sewa tempat yang kelewat kejam.

Ruang yang kian menyempit untuk para musisi yang disebabkan oleh masalah perijinan dan masalah lainnya. Secara tidak langsung ini seperti suatu usaha untuk menyisihkan para seniman untuk berkarya atau bahkan bersuara. Karena tidak bisa dipungkiri jika musisi tetap butuh tempat untuk mempresentasikan dan menyampaikan suara mereka melalui karya didepan umum. Musisi atau seniman seperti ini makin lama kian tersisih.

Apakah karena mereka selalu berani untuk bersuara lantang menyindir segala sesuatu yang mereka anggap salah, entah itu pemikiran, tindakan kelompok atau bahkan tatanan Negara?. Entahlah…

Silampukau adalah salah satu unit folk asal kota Surabaya yang pertama diperkenalkan oleh salah satu teman kepada saya. Jika tidak salah ingat tepatnya enam atau tujuh tahun silam salah seorang teman menyanyikan lagu berjudul “Berbenah” dengan begitu ekspresif di latar sebuah warung kopi dan di hadapan wajah saya. Berbekal gitar akustik yang tidak begitu nyaman di telinga namun cukup membuat saya kagum. Kagum karena lirik dan raut wajah teman saya saat bernyanyi. Hahahaha

Tahun demi tahun berlalu dan saya belum sempat menikmati Silampukau secara langsung. Hingga pada akhirnya Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening kembali membangunkan Silampukau dari tidur panjangnya dengan melahirkan album bertajuk Dosa, Kota, & Kenangan pada tahun 2015 silam.

Album yang berisikan sepuluh materi lagu tersebut berhasil menarik perhatian penikmat musik seluruh Indonesia. Melalui album tersebut Kharis dan Eki menuangkan segala cerita dan sambatan mereka mengenai kota kelahiran Silampukau, Surabaya.

Pada album Dosa, Kota, & Kenangan, Silampukau menawarkan pendengarnya untuk berimajinasi mengikuti cerita di setiap lagu mengenai kota Surabaya. Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang mudah untuk dimengerti membuat pendengar album ini mampu cepat akrab hingga mereka seperti turut merasakan cerita pada album Dosa, Kota, & Kenangan.

Ditengah perkembangan jaman yang begitu cepat seperti sekarang ini, album Dosa, Kota, & Kenangan mampu membuat Silampukau cepat terpandang dan banjir tawaran untuk manggung. Didukung dengan animo musik folk yang sedang naik daun, Silampukau menjadi nama yang paling ditunggu untuk naik ke atas panggung di Surabaya bahkan kancah musik Indonesia.

Terbukti, Silampukau telah sukses menggelar konser tunggal pertama mereka di TIM, Cikini Jakarta. Namun Kharis dan Eki memiliki mimpi lain, yakni pulang dan menggelar konser tunggalnya bersama kawan-kawan di ‘rumah’ mereka, Surabaya.

Pada akhirnya mimpi itu terwujud. Tepat sehari setelah peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-71, Silampukau mengadakan konser tunggal mereka di kota Surabaya. Bertempat di Gedung Cak Durasim, tempat yang memiliki sejarah panjang dan menjadi saksi bisu perkembangan musik di kota Surabaya selama puluhan tahun.

Menurut zine yang saya dapatkan di bawah lantai dengan bercak sepatu dan kondisi mengenaskan namun beruntung masih bisa untuk dibaca, Cak Durasim sendiri merupakan seniman tradisi paling popular sekaligus kontroversial pada zamannya. Melalui ludruk, ia mengangkat narasi-narasi kecil yang dekat dengan kehidupan warga Surabaya ; legenda kepahlawanan, kehidupan di kampung, penjaga panganan keliling, dan segala pernak-pernik perkembangan kota pernah mampir dalam panggung yang ia rancang. Selain itu, ia juga banyak melontarkan kritik kepada penguasa melalui berbagai gendhing jula-juli yang ia gubah.

Pengumuman konser Silampukau dan Kawan-Kawan masif terdengar di seluruh media. Tentu saya tidak ingin melewatkan momen ini begitu saja. Penasaran tentu modal besar saya untuk datang, selain itu konser musik tunggal sepertinya adalah hal langka dan sulit untuk dijumpai di kota Surabaya dan sekitarnya, bukan begitu?. Jadi sepertinya wajar jika saya begitu antusias dan penasaran seperti apa nantinya Konser Silampukau dan Kawan-Kawan di Gedung Cak Durasim yang bersejarah.

Pada malam tanggal tujuh belas Agustus , saya dan tiga teman sudah memastikan untuk besok berangkat dengan menggunakan kereta. Esoknya, pukul empat sore kami bergegas menuju stasiun untuk memastikan kami tidak kehabisan tiket. Akhirnya kami dapat tiket untuk kereta pukul lima sore.

(17:15 WIB) Langit sungguh bersahabat meski tidak menampakkan warna jingganya pertanda senja tiba dan kami sudah berada di dalam kereta untuk menunggu kereta berangkat. Selama setengah perjalanan langit tidak kunjung gelap dan mengijinkan saya untuk menikmati pemandangan melalui kaca dalam kereta.

(19:34 WIB) Malam sudah jatuh di Surabaya ketika kami bertiga sampai di stasiun Gubeng, Surabaya. Jujur saja saat itu kami tidak tahu jalan dari stasiun Gubeng menuju Gedung Cak Durasim. Kami hanya bermodalkan nekat.

Namun teknologi menolong kami berempat untuk menemukan arah menuju Gedung Cak Durasim. Acara konser Silampukau diprediksi akan dimulai pukul 20.00 WIB, namun kami masih berada di stasiun Gubeng. Setelah salah satu teman saya menemukan arah melalui ponselnya, kami langsung bergegas berjalan kaki menuju venue.

Kami berjalan kaki hampir satu jam lamanya. Menyusuri jalan besar di kota Surabaya dengan dihimpit gedung-gedung tinggi menjulang. Riuh suara jalanan yang dihasilkan oleh mesin bermotor tidak bisa dihandarkan. Kami terus berjalan, melewati Kantor Walikota Surabaya yang berdiri megah dengan logo Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 pada bagian atapnya.

Kami lanjutkan berjalan menyisiri pasar tradisional hingga gang-gang sempit yang menurut teknologi dari ponsel teman saya bisa memotong waktu daripada melewati jalan utama. Warung kopi dengan tembang 90an, penjual nasi goreng yang duduk menanti pembelinya, warga yang sedang berbincang di pagar tetangganya dan anak-anak yang sibuk bermain di pinggir jalan menghiasi perjalanan kami di gang sempit menuju Gedung Cak Durasim.

(20:25 WIB) Kami akhirnya sampai di Gedung Cak Durasim. Terlihat beberapa pemuda duduk murung di pinggiran jalan dan parkiran sepeda karena kehabisan tiket. Untung kami berempat sudah membawa tiket untuk masuk.

(20:30 WIB) Sepertinya kami adalah orang yang paling terlambat datang. Kami langsung masuk di gedung yang cukup luas dan gelap pertanda acara sudah dimulai. Ternyata acara memang sudah dimulai, namun yang terlihat di atas panggung adalah seorang pria yang tidak lagi muda namun tidak terlalu tua sedang berdiri sendiri di depan panggung dengan membawa beberapa lembar kertas dan dengan pancaran lampu yang menyinari seluruh tubuhnya.

Pria itu bukanlah MC, melainkan penampil sekaligus pembuka acara konser Silampukau dan Kawan-Kawan yang menyuguhkan berbagai parikan dan kata-kata gurauan yang berhasil membuat penonton terhibur dengan senda guraunya.

Parikan adalah salah satu bagian dalam kesenian tradisional ludruk yang melekat erat pada sejarah Cak Durasim. Sampai pada akhirnya pria ini berkumandang “Kita sambut Silaaaaam…puki.. eh..” yang spontan membuat seluruh penonton tertawa dan bertepuk tangan.

(20:35 WIB) Tirai raksasa berwarna merah yang menutupi panggung perlahan terbuka disambut hiruk pikuk tepuk tangan penonton. Tanpa basa-basi Kharis dan Eki langsung menyanyikan lagu “Bola Raya”.

Malam itu Kharis Junandharu terlihat santai dengan setelan sweater berwarna merahnya dan Kharis Tresnowening dengan setelan kemeja birunya terlihat seperti kaum pekerja kantoran kota Surabaya yang sering saya jumpai selama berjalan dari stasiun Gubeng menuju Gedung Cak Durasim.

(20:38 WIB) Masih tanpa basa-basi Silampukau langsung membawakan lagu “Sang Pelanggan”. Drummer yang berada tepat dibelakang Kharis dan Eki terdengar kesalahan tempo saat membuka lagu “Sang Pelanggan”. Namun hal tersebut hanya terjadi beberapa detik dan tidak mengurangi semangat para penonton untuk terus mengikuti suara Eki Tresnowening bernyanyi.

Tiba-tiba salah seorang pria masuk di penghujung lagu “Sang Pelanggan” dan duduk tepat di sebelah bassist untuk memainkan gendang. Ternyata lagu “Sang Pelanggan” ditutup dengan irama dangdut yang akrab terdengar ketika masuk di gang-gang sempit lokalisasi Dolly. Irama akhir lagu yang tidak terduga sontak membuat penonton semakin terpukau.

(20:45 WIB) Lampu panggung mendadak gelap, tidak lama terdengar suara gitar mengawali lagu “Balada Harian”. Jujur, baru pada lagu ini baru saya mengenali Silampukau. Entahlah dari pertama Silampukau membuka penampilannya, saya sedikit kurang nyaman dengan suara drum yang terlalu mendominasi. Namun bukan masalah yang terlalu serius.

(20:50 WIB) Setelah lagu “Balada Harian” berakhir, panggung kembali gelap. Ketika lampu perlahan menyala, Eki Tresnowening terlihat duduk dan memainkan Glockenspiel, kemudian turut hadir kawan-kawan lainnya dan siap pada alat musiknya masing-masing.

(20:52 WIB) Slide guitar dimainkan oleh salah seorang kawan Silampukau dan dimulailah lagu berjudul “Ku Duduk Menanti” dengan begitu manis.

(20:57 WIB) Salah satu kawan Silampukau kemudian memainkan alat yang unik menurut saya, jika tidak salah alat tersebut bernama Musical Saw yang suaranya begitu tenang dan nyaman di telinga. Dimulailah lagu berjudul “Malam Jatuh di Surabaya” disambut dengan tepuk tangan dan teriakan penonton. Sepertinya lagu ini menjadi track terfavorit malam itu. Penonton bernyanyi tiada henti hingga lagu usai.

(21:00 WIB) ketika malam memang benar-benar jatuh di Surabaya dan Silampukau nampak sejenak mempersiapkan sesuatu. Suasana dibiarkan hening selama kurang lebih lima menit. Lampu panggung dan gedung dibiarkan mati dan gelap.

(21:06 WIB) Kharis Junandharu tiba-tiba muncul dan menyapa penonton untuk pertama kalinya.

(21:07 WIB) Irama dangdut mulai dimainkan. Sontak membuat penonton tercengang, berteriak dan bertepuk tangan. Hingga salah satu wanita berpakaian hitam nan seksi masuk ke area panggung tanpa menggunakan alas kaki dan mulai bernyanyi. Siulan genit penonton pun tak bisa terhindarkan.

Lagu dangdut berjudul “Aduh, Abang Sayang” merupakan singel terbaru Silampukau yang memang dibuat kental dengan nuansa irama dangdut. Kharis Junandharu juga pernah mengungkapkan “Kami bermain folk dan agak berdosa secara struktural kalau tidak bermain dangdut”.

(21:15 WIB) Silampukau mengumumkan untuk berhenti sejenak dengan alasan memberikan kesempatan para penonton untuk terlebih dahulu menuju toilet atau sekedar memberi kabar pada orang tua untuk meminta ijin pulang lebih malam. Hahaha..

Tirai merah panggung ditutup seakan di belakang sana Silampukau sedang mempersiapkan sesuatu, lampu gedung kemudian menyala dan membuat saya mengetahui penuhnya Gedung Cak Durasim malam itu. Lampu menyala membuat kami berempat mengetahui wajah-wajah yang tidak asing bagi kami. Ternyata lumayan banyak teman-teman dari Malang yang penasaran dan hadir di Konser Silampukau dan Kawan-Kawan.

Selama waktu istirahat yang diberikan Silampukau, ada panitia acara yang bertugas untuk berkeliling ke area penonton untuk membagikan semacam benda berbentuk oval menyerupai telor dengan logo Silampukau yang didalamnya berisi butiran-butiran (semacam) beras. Jika digerakkan benda tersebut akan berbunyi seperti desiran pasir. Hal tersebut membuat saya penasaran apa yang direncanakan Silampukau dengan benda yang dibagikan kepada seluruh penonton di Gedung Cak Durasim ini.

(21:30 WIB) Lampu gedung tiba-tiba dipadamkan. Pertanda acara kembali dilanjutkan. Penonton yang tadinya berlalu-lalang langsung duduk untuk menanti kembali aksi Silampukau dan kawan-kawan.

Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening langsung menyapa penonton dan memastikan seluruh penonton mendapat benda berbentuk oval yang menyerupai telor tadi.

(21:32 WIB) Kharis dan Eki saling berhadapan dengan mikrofon yang berada diantara mereka. Kemudian ditemani dua kawan pemain accordeon dan bass. Mereka berdiri membentuk setengah lingkaran dan menghadap penonton kemudian bernyanyi lagu berjudul “Berbenah”.

Jujur, ketika lagu ini dimainkan saya langsung rindu untuk bertemu teman yang pertama kali mengenalkan lagu ini sekaligus Silampukau kepada saya di latar warung kopi tujuh tahun yang lalu.

Saya berhenti sejenak untuk menikmati masa-masa itu, karena sudah lama sekali saya tidak berjumpa dengan kawan saya bernama Fuad.

Saya tidak berhenti bernyanyi dan menikmati rindu ini.

Terima kasih Silampukau, lagu ini kalian bawakan sama persis seperti yang Fuad nyanyikan saat itu.

(21:38 WIB) Silampukau kemudian mengingatkan seluruh penonton yang datang dengan pasangannya, teman atau bahkan sendiri dengan lagu “Cinta Itu”.

Cinta bukan soal pengorbanan Dengan tulus tak terasa beban Biarlah yang terbaik jadi manis Dan pahit takkan jadi tangis Cinta memang tak perlu berbalas Tak usah mengemis dan memelas Biarlah yang terbaik jadi manis Dan pahit takkan jadi tangis Cinta itu buat kapan-kapan (kapan?) Kala hidup tak banyak tuntutan Biarlah yang terbaik jadi manis Dan pahit takkan jadi tangis

Kharis Junandharu mengalami gangguan pada gitarnya ketika membawakan lagu “Cinta Itu”. Hingga lagu ini dibawakan ulang ketika masalah pada gitarnya telah teratasi. “Cak Durasim itu memang angker,” ujar Eki menanggapi gangguan pada gitar Kharis. Hahaha..

(21:52 WIB) Lagu “Bianglala” dibawakan begitu romantis dengan irama keroncong.

(21:59 WIB) Silampukau melanjutkan dengan lagu “Lagu Rantau (sambat omah)”.

(22:04 WIB) suara terompet dan trombone yang dimainkan oleh dua kawan Silampukau mengawali lagu berjudul “Puan Kelana”. Salah satu lagu yang saya suka di album Dosa, Kota, & Kenangan.

(22:09 WIB) Ketika membawakan lagu “Sang Juragan”, Silampukau kembali mengingatkan saya pada percakapan seorang teman yang saya jumpai ketika jam istirahat konser beberapa menit lalu. Teman saya bercerita jika dirinya rela menggunakan jasa Gojek untuk diminta membelikan dua botol anggur merah dengan alasan “Koyoke nonton Silampukau kurang lek gak onok anggur merahe” (sepertinya ada yang kurang jika menonton Silampukau tanpa ada anggur merahnya). Dua botol anggur merah cap orang tua murni tanpa potas lantas sudah habis mereka minum berdua dan membuat wajah mereka memerah. Hahaha

(22:14 WIB) Kemudian menyambung lagu “Doa 1”. Wahai Silampukau, tetaplah seperti ini dan jangan mau jadi murahan seperti Ahma……. . Atas nama musik dan kehidupan yang penuh kebebasan.

(22:20 WIB) Tirai panggung kembali tertutup diiringi alunan piano yang begitu sendu. Sepertinya pertanda konser yang sudah berada diujung waktu.

Ternyata Silampukau kembali untuk berpamitan dan membawakan sebuah lagu penutup. Penonton pun terlihat cukup puas dan memberikan tepuk tangan meriah. Silampukau dan kawan-kawan memberikan penghormatan kepada penonton yang malam itu tidak lelah untuk berhenti menemani bernyanyi. Akhirnya usai sudah konser Silampukau dan Kawan-Kawan.

Melalui konser ini Silampukau memberikan bukti jika tidak ada yang tidak mungkin sekalipun berkecipung di jalur indie. Tidak ada yang tidak mungkin asalkan kita mau dan berusaha untuk mencapai keinginan itu hingga berbuah manis.

Salam manis.

*Konser Silampukau dan Kawan-Kawan menjadi konser tunggal yang pertama saya nikmati. Mungkin bukanlah konser terbaik, namun menjadi konser yang bisa menginspirasi untuk rekan-rekan musisi Surabaya dan sekitarnya untuk selalu mengejar mimpi. Terima kasih Silampukau, semoga kalian akan terus bisa mencapai mimpi dan tetaplah menyenangkan seperti ini.

*Terima kasih juga kepada Made, Risang dan Putra yang menemani perjalanan saya. Kepada Vian, Agung, dan Gio, terima kasih atas tumpangannya ketika pulang.

*Mohon maaf untuk semua gambar diambil dengan kamera seadanya (handphone). Jadi hasilnya harap maklum.


 
 
 

Comments


© 2023 by Closet Confidential. Proudly created with Wix.com

bottom of page