top of page
!

RECENT POSTS: 

FOLLOW ME:

  • Facebook Clean Grey
  • Twitter Clean Grey
  • Instagram Clean Grey
Search

Review Acara ; We Are The Pigs Vol.2

  • Hilman
  • Nov 8, 2016
  • 6 min read

Beberapa hari sebelum acara digelar, daya tarik yang tinggi membuat flyer acara We Are The Pig Vol. 2 berhasil memadati timeline media sosial. Tentu hal ini lebih baik dipandang ketimbang timeline hanya dijejali berita-berita hoax atau sederet argumen negatif yang akibatnya hanya memperkeruh suasana perihal apa yang sedang dialami Negeri tercinta beberapa hari belakangan ini.

We Are The Pigs sejatinya merupakan acara musik dengan tema tribute to Britpop. Jadi, band yang mengisi line-up acara nantinya dipercaya membawakan beberapa materi band yang berasal dari tanah Britania Raya, tentunya didampingi dengan membawakan materi mereka sendiri.

Sukses digelar secara mandiri pada edisi pertamanya di Houtenhand, kini acara We Are The Pigs berlanjut ke Vol. 2 dengan menggandeng Malang Sub Pop sebagai pihak penyelenggara acara. Masih dengan konsep yang sama namun ditempat yang berbeda, We Are The Pigs Vol.2 mendatangkan empat band tamu dari berbagai kota. Mereka adalah Peonies (Jakarta), Combo (Surabaya), Lightcraft (Bandung), dan Ikkubaru (Bandung). Turut hadir menemani juga band dari Malang yakni Young Savages, The Breakfast Club, dan MUCH.

Apabila mengingat kembali acara We Are The Pigs Vol. 1, tidaklah banyak yang berubah dari segi line-up band yang berasal dari kota Malang dan hanya bertambahkan MUCH. Young Savages dan The Breakfast Club yang kali ini terlibat pada We Are The Pigs Vol.2 sejatinya juga menjadi bagian dari We Are The Pigs Vol. 1 di Houtenhand.

Padahal jika berbicara mengenai konsep dan tema tribute yang diusung, band seperti Megatruh, Becuz, Frank!, Intenna atau band pendatang baru Coldiac, juga bisa dilibatkan. Ah, bukan permasalahan yang begitu mengganggu. Toh masih bisa berjumpa di We Are The Pigs volume selanjutnya. Setuju?

Jujur, saya pribadi begitu dibuat penasaran mengenai alasan dibalik pemilihan nama acara tersebut. Karena beberapa hari sebelum acara digelar, banyak guyonan atau celetukan dari teman-teman yang enggan datang hanya karena alasan mereka tidak mau menyamakan diri dengan pig(babi), meskipun pada akhirnya teman-teman tersebut akhirnya datang juga.

Jika boleh menebak, saya rasa tajuk acara tersebut diadopsi dari salah satu judul lagu milik band Suede yakni “We Are The Pigs”. Mungkin judul lagu ini tidak begitu akrab terdengar jika dibandingkan dengan materi lain milik Suede, terutama jika dibandingkan dengan materi pada album Coming Up.

Akan tetapi konon album kedua Suede berjudul Dog Man Star yang dirilis pada tahun 1994 ini dimana lagu “We Are The Pigs” menjadi salah satu materi di dalamnya mampu mengumpulkan banyak pujian dari kritikus musik pada masa itu meski album ini jauh dari arus mainstream. Didukung dengan pengakuan Suede pada tahun 2010, dimana mereka menyebutkan jika Dog Man Star menjadi album terbesar sepanjang masa yang pernah mereka lahirkan.

Kembali membahas tajuk acara We Are The Pigs…

Secara sadar atau tidak, babi (pig) sudah begitu sering bahkan akrab digunakan para seniman untuk mengkritik dan menjadi perumpamaan yang ditujukan kepada orang yang serakah, rakus, dan rela melakukan apa saja dengan mengatas namakan ‘pembaharuan’, ‘pembangunan’, hingga ‘perbaikan’ padahal semata-mata hanya demi memuaskan nafsu mereka sendiri. Bahkan merebut hak yang seharusnya milik orang lain akan mereka lakukan. Semoga Kalian semua mengerti siapa yang dimaksud.

Melalui visual pada video klipnya “We Are The Pigs”, terlihat vokalis Suede sedang melatunkan setiap liriknya dalam layar televisi yang berada di berbagai tempat. Mulai di tengah kerusuhan hingga di setiap sudut kota dengan tahap pembangunan gedung pencakar langitnya. Hal ini mengisyaratkan secara gamblang mengenai siapa sebenarnya yang mereka maksud dari lirik yang berbunyi ‘I say We are the pigs we are the swine… We are the stars of the firing line'.

Jika tebakan saya benar, semoga saja para pencetus acara We Are The Pigs memahami maksud dari lagu Suede berjudul “We Are The Pigs”. Bahkan saya kembali menyetujui argumen teman yang mungkin sebelumnya hanya lelucon untuk menghadiri acara We Are The Pigs, jika saya pribadi tidak akan senang menyebut diri sendiri atau menyebut teman-teman sebagai pig (babi) merujuk pada maksud dari lagu Suede. We're not the stars of the firing line…

Sudahlah, mengesampingkan itu semua. We Are The Pigs Vol. 2 yang digelar di Komika Café sukses menjadi acara yang sangat menghibur dan begitu menyenangkan. Setidaknya itu sudah lebih dari cukup.

Penampilan pertama adalah Combo yang berasal dari Surabaya. Malam itu Combo dipercaya membawakan ulang lagu milik band Blur. “Beetlebum”, “Coffee and TV”, dan lagu lainnya cukup membuat saya tidak menyesal karena suda rela meninggalkan kopi lebih awal untuk menyaksikan penampilan mereka sekaligus penampilan pembuka acara We Are The Pigs Vol. 2.

MUCH as The Smiths. Begitulah kenyataannya meski saya pribadi tidak terlalu sepakat. Membuka penampilannya denga lagu berjudul “Please, Please, Please Let Me Get What I Want” sudah sukses membuat penonton semakin memanas.

We Are The Pigs Vol. 2 kian memanas setelah lagu The Smiths berjudul “There Is a Light That Never Goes Out” dibawakan oleh MUCH. Pria bernama Ardi adalah pelaku utamanya dengan cara naik ke panggung dan merebut kuasa atas mic seorang Anggi. He know how to bring Tribute to Britpop like you’ve never had before!!.

Materi terbaru berjudul “Break Heart, Break Apart” milik MUCH juga tentu tidak luput untuk mereka bawakan dengan begitu baik (baca:keren).

Ikkubaru melanjutkan dengan membawakan beberapa materi band Ride. Jujur selain Combo, saya tidak terlalu mengenal band satu ini. Saya rasa musik yang mereka mainkan tidak jauh berbeda dengan band pendatang baru dari Malang, Coldiac.

Kemudian giliran penampilan pendatang baru The Breakfast Club sebagai The Stone Roses. Satu persatu wajah yang tidak asing naik ke panggung, mereka antara lain adalah Mucho yang penggagas acara We Are The Pigs, Bimo (HumiDumi), Bintang (Young Savages) dan dua personil lainnya sebagai drummer dan bassist.

Ternyata malam itu sudah banyak yang menanti penampilan mereka. Momen ini tentu dimanfaatkan dengan baik oleh The Breakfast Club untuk mengenalkan beberapa materi terbaru mereka, salah satunya berjudul “Distance”.

Harus diakui jika mereka pintar dalam menciptakan part dan aransemen musik. Mungkin lebih baik lagi jika ada tambahan power pada bagian vocal dan entah mengapa terlalu sering ada ruang yang terdengar kosong saat Bimo sedang mengisi lead gitar. Akan tetapi tidak ada masalah saat mereka membawakan lagu “I Wanna Be Adored” milik The Stone Roses dengan begitu memuaskan.

Saatnya Lightcraft menguasai panggung. Menyapa dengan lagu Coldplay berjudul “Yellow” dan beberapa materi baru yang konon akan diluncurkan pada EP terbaru mereka dalam waktu dekat.

“Clocks” dibawakan sebagai pertanda malam kian larut dan membuat mereka yang berpasangan lupa waktu untuk pulang meski bagian lirik ‘Home, home where I wanted to go…’ dinyanyikan berulang.

Momen pas bagi mereka yang membawa pasangan untuk membuat genggaman tangan mereka bertambah erat sambil ikut bernyanyi tanpa ada gangguan berat di area penonton yang semakin padat.

Giliran Young Savages yang dipercaya sebagai Suede menguasai panggung dengan disambut riuh penonton. Secara pribadi, sejujurnya bukan Suede yang saya harapkan untuk dipercayakan pada Young Savages. Tentu bukan karena alasan tidak cocok atau bahkan pantas. Buang jauh pikiran itu!

Saya mengagumi band ini karena memiliki selera musik yang bagus dan luas di ranah musik indie rock sebagai referensi musik mereka. Sebut saja Tribes, The Twang, Stairsalor, hingga Happy Mondays, dimana semuanya juga berasal dari tanah Inggris. Beberapa kali pula Young Savages membawakan materi dari empat band yang saya sebutkan tadi di atas panggung yang pernah mereka jelajahi.

Seharusnya Young Savages bisa membuat para pecinta musik indie rock ataupun britpop yang memadati acara We Are The Pigs Vol. 2 mengetahui jika band di tanah inggris tidak hanya mereka yang sekarang lebih sering terlihat sekedar menjadi atribut fashion yang tertempel pada kaos atau totebag saja. Seharusnya…

Young Savages juga membawakan beberapa lagu dari lima materi terbaru mereka yang pada waktu lalu dibocorkan via netlabel Kanaltigapuluh dengan versi akustik. Jika boleh memberikan sedikit catatan, mereka terlihat terlalu asik sendiri ketika membawakan materi terbarunya dengan format full band.

Penonton terlihat bingung akibat tidak memahami pada bagian mana letak emosi harus ditumpahkan dari lagu terbaru yang dibawakan Young Savages. Mungkin Young Savages harus bisa membagi dimana seharusnya porsi emosi naik dan turun pada beberapa bagian lagu baru yang mereka bawakan malam itu. Ehm, ini hanya saran saja agar materi baru Young Savages terdengar semakin seksi.

Namun suasana semakin pecah ketika lagu “Beautiful Ones” milik Suede mereka bawakan begitu berenergi. Meskipun saya berharap ada penjelasan dari Adin selaku vocal dari maksud judul acara We Are The Pigs sambil mengakhirinya dengan nyanyian lagu “We Are The Pigs”.

Peonies menandai jika acara telah sampai pada puncaknya. Mengemban amanat sebagai band yang akan membawakan beberapa materi dari The Cure, Peonies tampil memenuhi ekspektasi jika acara haruslah berakhir dengan menyenangkan dan penuh keringat.

“Boys Don’t Cry” terbukti mampu mengundang penonton semakin liar untuk menari dan bernyanyi bersama. Tentunya juga diantara materi The Cure lainnya dan materi mereka sendiri.

We Are The Pigs berakhir dengan menyenangkan, meskipun di kepala saya masih menyisakan pertanyaan alasan dibalik pemilihan tajuk acara tersebut. Halah lupakan saja, yang penting bisa kumpul dan bersenang-senang.

Jika ada penobatan Man Of The Gig, maka saya harus sematkan kepada Ardi. Karena selain menjadi pemicu panasnya atmosfir pada area moshpit, dirinya yang tidak membuat kata-kata ‘We’ll bring you a Tribute to Britpop like you’ve never had before’ hanya menjadi slogan semata.

Kini saatnya menunggangi kuda besi dan kembali pulang. Nyalakan mesin dan putar lagu “War Pigs” milik Black Sabbath. As the war machine keeps turning… Oh Lord yeah…!


 
 
 

Comments


© 2023 by Closet Confidential. Proudly created with Wix.com

bottom of page