Menemukan Kembali Jejak Switchfoot di Toko Kelontong
- Hilman
- Nov 29, 2016
- 4 min read

Meski hanya sebatas toko kelontong yang menjual rilisan musik, datang ke sana adalah salah satu cara agar kewarasan tetap terjaga, tentunya ini pendapat saya pribadi. Hari ini tanpa rencana dan entah karena alasan apa tanpa pikir panjang saya langsung berangkat ke toko kelontong rilisan yang biasa saya kunjungi. Jaraknya lumayan jauh, tapi apalah arti jarak demi menemukan kebahagiaan.
Siang cukup untuk bisa mengeringkan keripik ketika saya datang di tempat mungil yang kebanyakan dipenuhi oleh barisan dan tumpukan kaset pita itu. Belum sempat menyapa, tiba-tiba si penunggu yang juga pemilik tumpukan kaset berjumlah ratusan itu langsung menawarkan saya untuk membuka tas plastik berwarna biru di depan tokonya. Mungkin hari ini keberuntungan saya! Pikirku saat itu.
Ternyata tas plastik dengan ikatan yang cukup sulit dilepas tersebut berisi beberapa tumpukan majalah Guitar. Majalah yang berisi beberapa ulasan, interview, hingga petunjuk untuk memainkan chord lagu band mancanegara. Majalah yang memeang sudah sudah tidak bisa dikatakan muda namun patut di baca para pemuda, mmerujuk apa dan siapa saja musisi atau band yang pernah mereka ulas.
Mengangkat satu persatu tumpukan majalah dan mendapati wajah mabuk pentolan Nirvana, Kurt Cobain, senyuman khas Jimi Hendrix dengan gitar fendernya, hingga tampang serius a la Thom Yorke, dengan berbagai tajuk menarik pada covernya membuat tangan ini dipaksa untuk membuka setiap lembar majalah.
Namun dikarenakan sementara waktu memang isi dompet sedang kurang bersahabat, akhirnya saya harus rela untuk hanya menelan ludah sambil duduk di kursi plastik berwarna hijau yang disediakan sang pemlik toko dan membaca sekilas wawancara mediang Kurt Cobain yang konon sempat hilang.
Tidak ingin berlama-lama membasahi tenggorokan saya pun langsung memaksa wajah ini untuk berpaling pada tumpukan kaset yang berada tepat di samping saya. Rasanya ketika mata ini mulai mengitari dan mengintai tumpukan kaset, wajah Jimi Hendrix dan Kurt Cobain yang tersenyum manis masih mengitari kepala saya. Ah sudahlah!
Ketika mulai mengintai satu persatu jajaran kaset, seorang pria sedang mencoba kaset Greenday pada album greatest hits bertajuk International Superhits. Musik yang lumayan bisa membuat saya sedikit menemukan semangat untuk mengintai jajaran kaset yang saat itu hampir dikuasai oleh nama artis lokal hingga mancanegara lawas.
Perlahan pandangan ini naik ke atas untuk mengintip tumpukan kaset yang berada pada rak tepat di belakang sang pemilik toko. Nama Bruce Springsteen menghentikan pencarian saya. Ketika pemuda tadi sudah mendapatkan incaran kaset Greenday dan menyelesaikan transaksi kepemilikan kesetnya. Saya pun langsung meminta sang pemilik toko untuk memutarkan kaset Bruce Springsteen.
Sial benar nasib saya siang itu, ternyata kaset tersebut adalah siluman. Cover Bruce Springsteen namun berisikan materi band Europe. Hal yang memang sudah biasa terjadi di toko klontong penjual rilisan bekas seperti ini.
Kekecewaan tersebut berujung kembalinya saya kepada tumpukan majalah-majalah yang sudah saya kembalikan pada tas plastik berwarna biru tadi. Membaca wawancara mengenai idola dari Johnny Greenwood, sang gitaris Radiohead yang baru ini memiliki project musik menarik untuk film Junun bersama Shye Ben Tzur, dan The Rajasthan Express’s.
Belum menyelesaikan membaca, sang pemilik toko sudah menyombongkan majalah lainnya yang sudah sah milik orang lain namun belum resmi berpindah tangan.
Lagi-lagi majalah Guitar yang kini malah membuat saya menelan banyak ludah karena berisi tentang ulasan band Pink Floyd perihal album fenomenalnya The Dark Side Of The Moon. Belum lagi majalah satunya berisi tentang wawancara bersama band heavy metal favorit Black Sabbath dan satu lagi wajah Jimi Page yang sedang beraksi diatas panggung dengan gitarnya pada sampul majalah membuat semakin yakin jika sekarang benar-benar bukan hari keberuntungan bagi saya.
Okelah, anggap saja ini adalah cobaan untuk belajar yang namanya ikhlas. Kemudian saya kembali menuju tumpukan yang berada di sebelah kanan sang pemilik toko dan menemukan kaset Switchfoot pada album Oh!Gravity. Tanpa banyak pertimbangan, saya memutuskan untuk membeli kaset itu dan segera pulang dengan bayang wajah-wajah pada cover majalah Guitar yang masih memenuhi hapir seluruh kepala selama perjalanan pulang.
Sesampainya dirumah saya langsung memutar kaset Switchfoot yang sudah dalam posisi Side B. Dibuka dengan materi berjudul “Faust, Midas, and Myself”.
Switchfoot merupakan band rock alternatif yang berasal dari San Diego, California. Dibentuk pada tahun 1996 yang memang kala itu menjadi masa suburnya kelahiran band rock alternatif. Sebut saja The Calling, Hoobstank, Coldplay, hingga Story Of The Year, yang lahir pada periode yang hampir sama.
Switchfoot terdiri dari dua bersaudara Jon Foreman dan Tim Foreman, lalu Chad Butler , Jerome Fontamillas , dan Drew Shirley.
Album Oh! Gravity sendiri dirilis pada tahun 2006 setelah sebelumnya melahirkan dua album The Beautiful Letdown dan Nothing Is Sound dimana ketiga album ini juga menjadi pertanda Switchfoot menapakkan kaki mereka pada jalur mainstream dengan bergabung bersama label Columbia.
Salah satu band yang musiknya memang menjadi anthem wajib untuk outlet-outlet fashion di awal tahun 2000an. Lirik-lirik yang mempresentasikan para pemuda dengan musik khas rock alternatif awal 2000an membuat saya kembali mengingat dimana memang seharusnya lagu seperti ini lebih cocok didengarkan bersama ketika bersenang-senang bersama teman saat perjalanan menuju tempat pesta apalagi ketika hujan tiba.
Beberapa aransemen pada lagu di album ini memang terasa begitu berlebihan dan mungkin menurut saya pribadi malah tidak perlu dihadirkan. Meski demikian album ini masih jauh dari kata mengecewakan. Jujur, untuk urusan mengingat lagu saya merupakan salah satu orang yang lemah terhadap itu. Contohnya ketika lagu berjudul “Yesterday” dimulai. Saya baru ingat jika dulu ketika masih duduk di bangku sekolah menengah atas saya sudah mendengarnya dengan detail suasana saat itu. Oke, mungkin saat itu saya kurang terlalu serius menanggapi Switchfoot. Mengutip liriknya yang berkata “so long my friend, so long…”
Ditutup dengan “Let Your Love Be Strong” yang begitu tenang diantara 11 lagu lainnya. Lagu yang masih relevan untuk dinyanyikan dengan kondisi sekarang ini. In this world of news, I’ve found nothing new.
Setelah itu belanjut pada Side A yang berisi enam materi dengan diawali materi berjudul “Oh! Gravity”, dan kemudian “American Dream” dengan semangat kebebasannya. Dilanjutkan dengan “Dirty Second Hand”, “Awakening”, “Circles”, dan “Amateur Lovers” dimana keseluruhan musiknya penuh dengan kesenangan, kemuakan, hingga kemarahan yang dibalut kental aroma kejayaan musik alternatif era 90’ akhir hingga awal 2000an.
Namun diantara ketidakberuntungan hari ini, mendapatkan dan memutarkan Switchfoot membuat saya kembali mengenang masa indah yang sudah terlewati bersama teman-teman ketika saya sendiri masih harus bangun pagi dan memulai senin hingga sabtu untuk datang ke sekolah tepat waktu.
Selain itu barulah saya sadar jika musik seperti Switchfoot kini mulai kembali terdengar gaungnya namun dengan tambahan berbagai variasi di setiap aransemen musiknya. Memang tidak bisa dipungkiri lahirnya jutaan band di seluruh dunia dengan arus informasi yang semakin mudah dijangkau menuntut para musisi sekarang ini harus lebih kreatif untuk merangkum sekian banyak referensi musik yang mereka miliki.
Comments