top of page
!

RECENT POSTS: 

FOLLOW ME:

  • Facebook Clean Grey
  • Twitter Clean Grey
  • Instagram Clean Grey
Search

Review 2nd Album Crimson Diary; Ketika Tak Lagi Secerah Senja

  • Hilman
  • Dec 19, 2016
  • 4 min read

Di ranah musik alternatif, sedikit sulit menemukan band yang bertahan untuk tetap menjaga konsistensinya. Itu yang saya rasakan selama tinggal dan menikmati iklim musik di kota Malang yang selalu bergairah. Konsistensi yang saya maksudkan bukan hanya dilihat dari sesering apa dia (band) berpetualang dari panggung ke panggung. Tapi juga dilihat dari aktifnya mereka dalam menciptakan karya, tentunya ini berbicara tentang relasi dengan karya musik entah itu fisik maupun non fisik.

Berbicara mengenai pelaku musik alternatif, kota ini (Malang) sejatinya memiliki banyak sekali potensi-potensi yang menjajikan. Sayangnya kelahiran band di ranah alternatif kerap kali hanya berjangka singkat alias harus menyatakan hilang secara mendadak bahkan terkesan terlalu cepat. Sampai saat ini pun saya tidak tahu pasti apa penyebabnya pastinya.

Parahnya lagi jika mereka hilang begitu saja tanpa harus meninggalkan jejak secuilpun untuk generasi mendatang. Tidak bisa dipungkiri jika kota Malang menjadi salah satu kota yang setiap tahunnya akan (baca: pasti) mendatangkan banyak pendatang. Entah itu tujuannya untuk mengenyam pendidikan atau sektor lainnya. Namun sayangnya kerap kali para generasi baru dan pendatang ini hanya sedikit mengenal atau parahnya tidak mengenal sama sekali pelaku musik tersebut.

Namun rasanya terlalu egois jika melimpahkan sepenuhnya kesalahan kepada para generasi baru dan pendatang. Terkadang rasa ingin tahu mereka (generasi baru dan pendatang) juga begitu tinggi namun juga kerap kali hasilnya nihil lantaran ketika dalam proses pencarian tidak ada sama sekali jujukan yang mendukung untuk menjawab rasa ingin tahu mereka.

Di sinilah letak pentingnya keberadaan jejak karya seperti album, EP, Demo, atau jejak berbentuk fisik lainnya (media) sebagai bukti otentik untuk mereka (generasi mendatang dan pendatang) mengetahui jika kota ini begitu subur untuk selalu rajin melahirkan potensi-potensi yang begitu menjanjikan. Entah para pelaku tersebut masih ada atau sudah dinyatakan ‘hilang’. Setidaknya mereka mengerti akan sejarah pajang siapa saja yang pernah dan masih berkontribusi memanaskan gairah musik di kota ini (tidak hanya ranah musik alternatif).

Namun dari sekian banyak band tersebut ada salah satu band yang masih tetap konsisten bertahan diantara suburnya kelahiran nama-nama pelaku baru di kota Malang. Mereka adalah Crimson Diary.

Disamping sejarah dari band yang cukup panjang, debut album bertajuk Senja sudah cukup bisa menggambarkan bagaimana aura musik alternatif di kota Malang terdengar pada era 5 dampai 10 tahun sebelumnya (dihitung semenjak Senja dilahirkan). Sound gitar yang terdengar bright bersanding dengan overdrive dan delay yang tersebar di setiap bagian lagu, mengimbangi suara vokal yang begitu tenggelam diantara instrumen lainnya. Begitulah gairah musik alternatif terdengar pada era awal 2000an, tentu ini menurut sumber yang saya dapat dari beberapa arsip fisik yang saya miliki.

Tujuh tahun bertahan tentu bukan perkara mudah, akan tetapi faktanya Crimson Diary tetap konsisten untuk terus berkarya. Album bertajuk Crimson Diary dengan konsep “Diary Of Crimson” menjadi bukti nyata akan konsistensinya. Album terbaru dengan kemasan yang sangat menarik dengan berbagai artwork yang mengagumkan. Berbentuk layaknya sebuah buku diary, saya rasa album ini pantas menyandang kemasan album musik terbaik tahun ini dilihat dari berbagai sisi. Mulai dari bentuk, artwork, hingga fungsi.

Ketika senja meyurutkan terangnya.

Album kedua Crimson Diary tidak lagi banyak menyuguhkan suara bright gitar renyahnya, meski demikian delay yang berterbangan masih begitu banyak ditemukan di setiap sudut lagunya. Mereka kini terdengar lebih kelam dari album sebelumnya. Namun masih tetap berpegang teguh pada musik alternatif.

Album ini dibuka dengan musik instrumental yang begitu ‘kotor’. Dengar saja duel distorsi gitar yang saling bersahutan yang kemudian diisi dengan lead gitar yang kerap dijumpai di antara album instrumental rock. “Awalan” menjadi pembuka yang sudah mendeskripsikan emosi dari Crimson Diary meski kerap kali mereka terlalu terbawa emosi hingga menyebabkan hilang kendali di beberapa bagian.

Divisi vokal pada album ini juga tidak terlalu banyak berubah. Sayangnya, beberapa aksen pembacaan lirik kerap kali terdengar samar. Namun untung saja pada album ini Crimson Diary melampirkan lirik di dalam albumnya. Jujur, ketika mendengarkan Senja sering kali saya harus memutar ulang beberapa part demi menyimak lirik yang terdengar samar, karena memang pada album tersebut tidak menyertakan lirik. Bukankah memang musik alternatif terasa lebih nikmat didengarkan dengan ikut bernyanyi bersama. Saya rasa semua ranah musik seperti itu, terkecuali musik instrumental!

“Freja” menjadi salah satu lagu favorit saya pribadi. Lagu yang dipersembahkan untuk buah hati sang vokalis. Begitu menyenangkan untuk didengar dan cukup menggambarkan rasa sayang yang besar seorang ayah terhadap sang buah hatinya. Salah satu track yang memiliki cukup banyak variasi isian suara gitar di setiap bagiannya, bahkan menurut saya terlalu banyak.

Kemuraman materi “Higher Place” dan “Fade Away” begitu semakin meyakinkna jika album ini sudah tak lagi terdengar secerah Senja.

Perbedaan yang begitu terasa adalah tidak mendominasinya lagu dengan penggunaan lirik bahasa Indonesia sedari awal. Sejujurnya kekaguman saya terhadap Crimson Diary muncul salah satunya karena kemampuan mereka mengemas musik alternatif dengan penggunaan lirik bahasa Indonesia. Namun entah mengapa meski album kedua mereka masih memiliki banyak porsi penggunaan lirik bahasa Indonesia, namun tidak sekuat pada album Senja.

Satu-satunya lagu di album ini yang mengingatkan sedikit mengenai romantisme pada album Senja adalah materi berjudul “Angsa Hitam”. Lagu “Paradigma” kemudian mengembalikan gaya musik Crimson Diary yang begitu dingin dan gelap.

Hingga track berjudul “Misty Night”, “Bumi”, “Tiada Lagi Mimpi Buruk”, dan “Akhiran”, Crimson Diary masih terasa begitu dingin dengan isian delay gitar dan ketukan drum yang tidak terlalu lagi terdengar menggebu.

Mendengarkan keseluruhan album Crimson Diary layaknya membaca kembali kenangan-kenangan yang ditulis dalam buku diary. Memiliki kisah dan tingkat emosi masing-masing di setiap bagiannya. Emosi yang terkadang naik dan terlalu cepat turun membuat album ini sulit untuk diprediksi. Namun bukankah Diary memang seharusnya seperti itu? Memiliki sejuta warna cerita di setiap lembar halamannya.

Namun harus diakui, mendung gelap terlampau pekat menyelimuti album ini. Mendung tersebut berupa isian gitar dengan modulasi delay nya, tempo ketukan drum yang banyak meredam emosinya, suara bass yang terlampau berat dari album sebelumnya, dan juga suara vokal yang lebih banyak mepresentasikan kesedihan di dalam ketenangannya.

Album kedua ini mungkin tidak banyak menciptakan encore atau setidaknya menyebabkan sing along seperti album Senja. Sepertinya memang proses pendewasaan berpengaruh banyak menciptakan ketenangan di dalamnya. Cukup bisa untuk menenangkan diri dan mulai menikmati cerita atau memulai menulis cerita dengan mendengarkan setiap materi pada album terbaru Crimson Diary.

Namun tidak bisa dipungkiri, sampai saat ini Crimson Diary masih memiliki kekuatannya tersendiri diantara musik alternatif yang sedikit banyak mulai terdengar berkembang atau malah jauh berubah. Bukan berarti Crimson Diary tidak berkembang. Melainkan mereka memilih untuk berkembang perlahan dengan tetap bertahan dan tidak terlalu banyak merubah gaya bermusiknya. Bisa dilihat dari segi kemasan, hingga kualitas musik, atau pergerakannya kini bisa dikatakan Crimson Diary lebih melangkah maju tanpa meninggalkan jati diri mereka terlalu jauh.

Hilman, 2016.

Tulisan ini pernah dimuat pada kolom musik LYT Media.


 
 
 

Comments


© 2023 by Closet Confidential. Proudly created with Wix.com

bottom of page